
Penghematan energi merupakan kewajiban sebagaimana diamanatkan
dalam Undang-Undang Energi Nomor 30 tahun 2007. Pasal 25 undangundang tersebut menyatakan bahwa pelaksanaan konservasi energi
nasional adalah tanggung jawab pemerintah, pemerintah daerah, dan
masyarakat. Konservasi energi mencakup seluruh tahapan pengelolaan
energi mulai dari sisi penyediaan energi, pengusahaan energi,
pemanfaatan energi, dan konservasi sumber daya energi. Setiap
pemanfaatan energi sumber energi wajib dilakukan secara hemat dan
efisien melalui penerapan manajemen energi (PRI, 2007). Peraturan
Pemerintah Nomor 70 tahun 2009 tentang Konservasi Energi
mendefinisikan konservasi energi sebagai upaya sistematis, terencana, dan
terpadu guna melestarikan sumber daya energi dalam negeri serta
meningkatkan efisiensi pemanfaatannya. Melalui peraturan ini, pemerintah
mendorong organisasi dengan konsumsi energi diatas 6.000 ton oil
equivalent (TOE)/tahun untuk melaksanakan konservasi energi secara aktif
melalui Manajemen Energi (PRI, 2009). Salah satu ruang lingkup
manajemen energi tersebut adalah melaporkan pelaksanaan konservasi
energi.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah membuat
sistem pelaporan online yaitu sistem Pelaporan Online Penghematan
Energi dan Air (POPEA) untuk instansi pemerintah; dan sistem Pelaporan
Online Manajemen Energi (POME) untuk pengguna energi diatas 6.000
TOE/ tahun. Gambar 1.1 menunjukkan data rekapitulasi pengguna energi
diatas 6.000 TOE sampai dengan tahun 2017 yang dimiliki Direktorat
Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (DJEBTKE).
Jumlah pengguna energi diatas 6.000 TOE yang sudah diidentifikasi
mencapai 276 perusahaan dimana 114 perusahaan telah melaporkan
kegiatan manajemen energinya.
Gambar 1.1. Pengguna energi diatas 6.000 TOE dan status laporan
Program konservasi energi dan dibantu dengan faktor lainnya, seperti
kenaikan harga energi, telah menurunkan intensitas energi sebagaimana
pada Gambar 1.2. Intensitas energi final telah turun sebesar 2,8% per tahun
selama 2010 hingga 2017. Nilai ini lebih tinggi dibandingkan dengan target
penurunan intensitas energi final sebesar 1% per tahun sampai dengan
2025 (PRI, 2014). Pencapaian ini membuat Indonesia berada pada posisi
ketiga sebagai negara dengan intensitas energi terendah di ASEAN
(Fitriyanto and Iskandar, 2019). Walaupun demikian, potensi peningkatan
efisiensi energi di Indonesia masih cukup tinggi. Salah satu indikatornya
adalah indeks intensitas energi Indonesia 40% lebih besar daripada indeks
di Jepang akibat masih tingginya intensitas energi sektor industri di
Indonesia (Suehiro, 2007).
Gambar 1.2. Intensitas energi 2010 hingga 2017
Sumber: DKE (2018)
Berbeda dengan Indonesia, Jepang relatif tidak mempunyai sumber daya
energi sendiri sehingga bergantung pada impor energi (Honma and Hu,
2014; Zhang et al., 2012). Pada krisis minyak pertama di 1973, Jepang
mengeluarkan peraturan optimasi permintaan dan suplai minyak yang
membatasi penggunaan minyak di 1973 serta mendirikan Energy
Conservation Centre dan proyek Moonlight di 1978. Proyek tersebut
dimaksudkan untuk mendukung pelaksanaan konservasi energi di industri
dan mengembangkan teknologi efisiensi energi untuk industri seperti
industrial furnace, gas turbine, waste heat, dan heat pumps (Geller et al.,
2006; Ren and Du, 2012; Sato, 2001; Tanabe, 2011). Pada krisis minyak
kedua di 1979, Jepang melalui peraturan Rational Use of Energy Number
49 memperkuat peraturan konservasi energi untuk industri sekaligus
menerapkan kewajiban konservasi energi di rumah tangga, bangunan
komersial, dan peralatan pemanfaat listrik (Akahoshi, 2008; Geller et al.,
2006; Ren and Du, 2012). Jepang mewajibkan industri untuk menunjuk
manajer energi dan melaporkan konsumsi energi dan dokumen
perencanaan secara periodik. Pemerintah mengevaluasi pelaporan energi
dan mengaudit industri yang tidak mampu melakukan efisiensi energi.
Jepang menggunakan sistem penalty and reward berupa pemberian tax credit 7% dan 30% depresiasi peralatan bagi industri dengan efisiensi
energi tinggi (Akahoshi, 2008).
Jepang terus memperbaiki kebijakan konservasi energi khususnya setelah
meratifikasi Kyoto Protocol sebagai bentuk komitmen menuju green
economy. Jepang mengenakan pajak karbon untuk penggunaan energi.
Faktor lain keberhasilan konservasi energi di Jepang adalah inovasi
teknologi melalui kolaborasi terus menerus antara industri, universitas, dan
pemerintah (Ishida, 2015; Sato, 2001; Tanabe, 2011). Kombinasi dari
insentif, manajemen energi, dan dukungan pemerintah mendorong inovasi
teknologi secara efisien. Setiap tahunnya, setiap divisi di perusahaan
Jepang wajib memasukkan proposal penghematan energi dan jika proposal
tersebut terpilih maka anggota divisi dan keluarganya diberikan
penghargaan. Hal ini membuat teknologi efisiensi energi melekat pada
proses produksi dan tidak bisa dikomersialkan atau diekspor (Nishimura
and Giri, 2008). Di Indonesia, kerjasama antara industri dan dunia riset saat
ini belum dilaksanakan secara intensif namun kondisi ini berpotensi
berubah dalam waktu dekat dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor
45 tahun 2019 yang memberikan insentif pajak berupa pengurangan
pendapatan bruto sebesar 300% pengeluaran riset (PRI, 2019).
Sebagai unit pendukung pelaksanaan kebijakan Kementerian ESDM,
Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral
(Balitbang ESDM) mempunyai kemampuan dan pengalaman untuk
melaksanakan audit energi. Balitbang ESDM bermaksud membantu
DJEBTKE dalam memantau pelaksanaan manajemen energi. Lebih dari
50% pengguna energi yang wajib melaksanakan manajemen energi belum
melaporkan kegiatan manajemen energi kepada pemerintah. Selain itu,
potensi peningkatan efisiensi energi di Indonesia masih besar.